Menyongsong Reuni 212

Menyongsong Reuni 212, Suara Inqilabi, Nasrudin Joha
Ah, pagi itu lagi dan lagi secangkir kopi nikmat dihidangkan istri tercinta. Nasrudin, terbiasa menyeruputnya (baca: menyeruput, bukan menghirup). Sepintas pagi itu biasa saja, tapi ternyata ada hal yang diluar kebiasaan. Ya, pagi itu seruputan kopi kapal api menyendiri, sunyi, tanpa suguhan khas kerupuk selondok.

Nasrudin bertanya ihwal sunyinya pagi itu terhadap sang istri.

"Umi, sekiranya aku boleh bertanya, sudikah Umi menerangkan satu persoalan penting yang sedang menggelayuti pikiran Abi ?", tanya Nasrudin.

Istri Nasrudin sudah paham tabiat sang suami, tanpa menjawab ia mendiamkan sampai muncul pertanyaan definitif dari sang suami.

"Maksud Abi, adakah duka yang mendalam sehingga Umi berkenan menghidangkan kopi kapal api nikmat, tetapi tanpa suguhan kerupuk selondok ? Adakah, sesuatu yang besar sehingga hidangan itu tiada nampak di pagi yang indah ini ?" Tanya Nasrudin menyambung.

Istri Nasrudin baru memulai menjawab, karena soal yang diperbincangkan telah definitif. Ini masalah klasik, masalah kerupuk selondok yang tidak dihidangkan menemani kopi kapal api.

"Abi, bukan Umi ingin mengurangi kebahagiaan Abi di pagi yang indah ini. Bagi seorang istri, pengabdian kedua setelah kepada Allah SWT dan rasul-Nya adalah mengabdi pada suami. Bagi istri, ketaatan kepada suami adalah mahkota kemuliaan dan jaminan keridloan Tuhan. Melayani suami, termasuk urusan menghadirkan hidangan yang disukai suami, adalah tugas, kewajiban, sekaligus tanggung jawab istri..."

"Tetapi Abi, bukankah Abi akan ikut reuni 212 ? Bukankah untuk itu kita butuh persiapan dan perbekalan? Bukankah kita buruh tiket, akomodasi, dan uang saku untuk memastikan bisa terlibat dalam agenda akbar reuni 212 di tahun 2018 ini ?"

Nasrudin masih belum begitu paham arah pembicaraan sang istri. Namun, ia tidak mau menyela. Dia mencoba menyeruput kopi sambil bersabar menunggu ulasan lanjutan dari sang istri.

"Abi, kita ketahui di zaman mukidi ini semua naik, semua mahal. Listrik naik, BBM naik, harga sembako naik, sedangkan uang belanja dari Abi seingat Umi belum juga ikut naik..." ujar sang istri.
Sepenggal kalimat ini menampar Nasrudin, tetapi sekaligus membuatnya tersenyum. Hehe, bagaimana mungkin minta fasilitas tambahan atau setidaknya tidak dikurangi, jika suplai pendapatan tidak disesuaikan ? Diam-diam, Nasrudin membenarkan ujaran sang istri.

"Karena itu Abi, Umi sedang ikhtiar menghemat uang belanja. Agar ada sisa yang ditabung, untuk tambahan bekal Abi ikut reuni 212. Umi ingin mendapat pahala perjuangan suami, meskipun tidak ikut melakukan sebagaimana diterangkan oleh sabda baginda Nabi SAW. Umi ingin memastikan Abi, ikut aksi 212 untuk memastikan kita berada di barisan pembela kalimat tauhid. Umi ingin Abi, bersama anak-anak kita, mengibarkan bendera tauhid, bendera Rasulullah SAW di acara reuni akbar 212...".

Mendengar penjelasan sang istri, Nasrudin tidak bisa berkata-kata. Benar adanya, bahwa persiapan menuju agenda 212 harus dipersiapkan sejak dini. Apalagi di situasi yang serba sulit, harus pandai berhemat untuk mengatur Alokasi.

"Umi, bahagia rasanya Abi menikahi Umi. Sungguh, pernikahan ini benar-benar menyempurnakan agama Abi. Engkau telah menjadi bahan bakar dakwah, bukan malah menjadi beban dakwah...".

"Memang, Abi harus hadir dalam reuni akbar 212. Abi harus menjadi bagian dari barisan pejuang Islam yang membela kalimat tauhid". Tutup Nasrudin.

Lama keduanya sejenak terdiam, tidak berselang lama keheningan itu pecah akibat teriakan dari jarak yang makin mendekat.

"Assalamualaikum... " demikian teriakan itu mendekat, dan mengais pintu untuk mengetuknya.

"Waalaikumusalam... " jawab Nasrudin dan istri.

Ternyata, yang datang adalah Abu Nawas, sahabat karib Nasrudin. Dengan senyum sumringah, ia mengabarkan akan hadir di reuni akbar 212, bahkan dengan bangga ia menunjukan kode tiket kereta api yang sudah dipesan.

Yang membahagiakan, ternyata Abu Nawas membawa oleh-oleh kerupuk selondok dalam jumlah yang cukup banyak. Infonya, dia baru pulang kampung di desanya yang terletak di pinggiran bukit Menoreh. Lantas, keduanya bersama menikmati kerupuk selondok dan kopi yang dihidangkan.

Sampai waktu yang lama, keduanya sibuk mendiskusikan persiapan reuni 212, persiapan teknis hingga antisipasi jika banyak gangguan dan hambatan dari wereng cokelat. [] Tulisan : Nasrudin Joha

Post a Comment

0 Comments